Indonesia mungkin saja Menguasai ASEAN

Tulisan ini saya alihbahasakan ke bahasa Indonesia dari artikel yang diterbitkan The Strait Times.,Media terbesar di Singapura. Judul aslinya adalah "Indonesia may outgrowing ASEAN".


Oleh Barry Wain untuk The Straits Times



Pemilu kali ini, tidak hanya menjadi kemenangan bagi presiden Susilo Bambang Yudhoyono semata, tetapi juga bagi rakyat Indonesia, Negara berpenduduk terbesar ke empat di planet ini.

Selama satu dekade ini, setelah kejatuhan Presiden Suharto, Indonesia sudah berhasil menghilangkan kediktatoran militer dan membangkitkan demokrasi. Indonesia sudah memberikan kebebasan kepada persnya, mengembalikan kaum militer ke baraknya dan melakukan 3 pemilu yang sukses selama 8 tahun ini.

Indonesia juga sudah merubah sistem sentralisasi yang berpusat di di Jakarta menjadi sistem desentralisasi yang berpusat di pemerintah provinsi, Indonesia sudah berhasil mengakhiri 30 tahun perang sipil di Aceh, menekan kekerasan berdasarkan agama serta secara drastis mengakhiri terorisme Islam. Walaupun terjadi krisis financial global, ekonomi Indonesia masih diharapkan meningkat 3 hingga 4 persen tahun ini, membuat Indonesia, bersama dengan China dan Indonesia, menjadi salah satu dari sedikit Negara yang meningkat pertumbuhan ekonominya tahun ini.

Image lama Indonesia sebagai sebuah Negara yang kacau dan selalu mengalami bencana alam dari satu bencana ke bencana lain, sudahlah usang. Seperti yang diucapkan seorang ahli, Andrew Mac Intyre dan Douglas Ramage : “ Indonesia sekarang adalah sebuah Negara yang stabil, kompetitif, berdemokrasi dan memainkan peran yang konstruktif dalam hubungan internasional.”

Bagaimana pilihan Indonesia dalam memainkan perannya di dunia, sangat mempengaruhi masa depan Asia tenggara. Karena tetangga-tetangga Indonesia belajar, bahwa ternyata lebih sulit untuk mengendalikan sebuah Negara demokrasi yang dinamis dibandingkan dengan sebuah Negara dengan kepemimpinan diktatorial.

Untuk benar-benar bisa menghargai prestasi Indonesia yang sudah diakui dunia, kita harus melihat bagaimana Negara ini sudah berubah dalam waktu yang cukup singkat. Setelah kejatuhan Suharto, terjadi kerusuhan etnik, agama kemudian terjadi gerakan separatis yang mebuat hampir 1 juta orang kehilangan rumah. Setalah Timor timur mendapatkan kemerdekaannya pada tahun 1999, Aceh dan Papua di satu sisi berusaha untuk menjadi Negara sendiri.



Ada kekhawatiran pada saat itu bahwa nasib Indonesia akan sama seperti Yugoslavia yang terpecah-pecah menjadi Negara sendiri-sendiri. Singapura, Malaysia dan Negara-negara tetangga lainnya belajar untuk beradaptasi, hidup dengan ketakutan dan ketidakmenentuan akan adanya arus imigran dan pengungsi Indonesia yang tidak terkontrol.

Ucapan terimakasih atas kebangkitan Indonesia saat ini harus kita alamatkan kepada Presiden Yudhoyono, yang sudah mendapat reputasi karena ketulusan hatinya. Walaupun dia terkenal sebagai seorang yang ragu-ragu dalam mengambil tindakan, rakyat Indonesia sangat menghargai usahanya untuk memberantas korupsi, mengontrol pengeluaran Negara, dan memberi subsidi kepada orang miskin dengan bantuan uang tunai sebagai kompensasi kenaikan BBM.

Komunitas Internasional juga sangat menyambut baik dan menghargai performanya dalam memimpin Indonesia. Presiden AS Barrack Obama, bahkan berkata bahwa Indonesia adalah contoh untuk dunia Islam. Indonesia ikut serta dalam pertemuan G20 di Washington tahu lalu untuk mendiskusikan krisi ekonomi global dan financial. Bahkan laporan Morgan Stanley berkata bulan lalu bahwa Indonesia seharusnya dimasukkan kedalam group BRIC (Brazil,Rusia,India dan China) yang merupakan kelompok Negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia.

Ironinya, Keberhasilan dan kesuksesan Indonesia membangkitkan kemungkinan lain akan ketidakmmenentuan di kawasan Asia tenggara, yang berpusat pada kemungkinan bagaimana Indonesia menempatkan prestasi dan pengaruh besar yang diperolehnya di kawasan ini.

Karena Indonesia, sudah berhasil mengangkat standar hidup 240 juta orang Indonesia, tentu saja secara logika Indonesia akan mecoba untuk mengambil secara de facto kepemimpinan ASEAN, posisi yang sampai sekarang kosong sejak kejatuhan Suharto. Tapi walaupun begitu, Indonesia sebagai sebuah Negara yang berdemokrasi, yang diperkuat oleh transformasinya yang cepat, dan berniat untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasinya ke Negara ASEAN lainnya, mendapat banyak hambatan dan tantangan dari sesama anggota ASEAN.

Contohnya ketika Indonesia mencoba untuk memasukkan sebuah draft tentang hak asasi manusia dalam kepengurusan ASEAN. Indonesia selama ini berada di posisi terdepan dalam usaha untuk memasukkan sebuah ketentuan yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia 575 juta orang yang tinggal di Asia tenggara, sesuai dengan norma internasional yang berlaku. Tapi hal ini tentu saja berlawanan dengan kebijakan pemerintah beberapa anggota ASEAN lainnya. karena keputusan ASEAN diambil atas dasar consensus, tentu saja suara terbanyaklah yang menang.

Indonesia sangat bangga akan pencapaiannya sebagai sebuah Negara demokrasi dan tak berniat untuk menyembunyikan kebanggaan tersebut.

Bapak Umar Hadi, Direktur Luar negeri untuk hubungan diplomasi di kemeterian luar negeri berkata baru-baru ini kepada kaum pers : “ Indonesia saat ini bukan lagi Indonesia pada zaman Suharto, Sekarang Indonesia adalah Indonesia yang baru”

Sampai kapan Indonesia mampu untuk toleran dan sabar , kita sama sekali tidak tahu. Tapi sudah ada tanda-tanda bahwa beberapa orang Indonesia mulai tidak sabar akan penolakan Negara ASEAN lain atas usaha Indonesia menyebarkan nilai-nilai demokrasi.

Dr. Rizal Sukma, direktur eksekutif dari Centre for Strategic dan International Studies di Jakarta, mendorong pemerintah Indonesia untuk mendesak Negara ASEAN lain tentang berbagai macam issue, terutama pertanyaan mendasar mengenai “kebebasan dan hak asasi manusia” Indonesia, dia berkata, perlu memulai untuk merumuskan kembali aturan ASEAN”.

Jika pandangan diatas benar-benar dilakukan oleh pemerintah Indonesia. ASEAN benar-benar perlu untuk memperhatikannya.

Barry Wain is writer-in-residence at the Institute me Southeast Asian Studies.

0 komentar:

Posting Komentar